Dengan catatan sirih, orang dari Mataram Metawis Yogya, dan orang tersebut insya Allah huukana masih keturunan Sultan Hadi yang makamnya berada di gunung Tidar Bagelen Magelang, dan dulunya orang tersebut mengikuti sayembara yang di adakan dtlatah aduran. Pada tahun 1536 di tlatah (tanah) Aduran (sekarang lebih dikenal dengan Maduran) dan kali (sungai) Sakuran (sekarang dikenal dengan Sekaran) ada wanita yang sangat cantik jelita dan sakti mahambaro (sakti mandraguna) kurang tanding milih tanding. Zaman itu wanita tersebut sangat menyakitkan hati para ulama’. Karena Setiap bertarung dengan para pendekar dia mengucapkan Kun dumi’ dengan jarinya menunjuk pada alat vital/ kelamin lelaki, hingga semua alat vital lelaki pada rontok semua.
Akhirnya dengan takdir Illahi Robbi, datanglah seorang pemuda yang gagah perkasa yang bernama Raden Hamid, beliau seorang utusan dari Kanjeng Sunan Kalijogo.
Sebelum melaksanakan tugas, Raden Hamid matur (berkata) kepada Kanjeng Sunan Kalijogo “ Bagaimana Kanjeng Sunan apabila saya kalah, sebab putri tersebut sangat cantik dan sakti”
Jawab Kanjeng Sunan “ Samarkan namamu, jangan menggunakan nama Raden Hamid, namun gunakan nama Abdul Qodir Hamid”
Lalu Raden Hamid meminta do’a kepada Kanjeng Sunan dengan berkata : “Doa apa yang saya baca untuk menandingi putri tersebut ?”
Maka Kanjeng Sunan Kalijogo memberikan sebuah do’a kepada Abdul Qodir Hamid (nama samaran dari Raden Hamid) sebagai bekal untuk mengalahkan lawannya sebagai berikut :
(‘Aqodtu hasanatan yin huu yin wa anhuuyun wa kun yun naayannifi lan hasan lan kastuurin)
Pengertian dan maksud dari do’a tersebut adalah sebagai berikut :
“Ya Allah, saya mempunyai niat baik untuk menjalankan perintah dari Kanjeng Sunan Kalijogo, dengan perintah dari Kanjeng Sunan tersebut saya minta kekuatan kedigdayaan, dan saya minta menjadi orang Bandung Bondowoso,
Ya Allah, saya minta lawan yang paling unggul, Ya Allah saya minta jangan sampai terpikat dengan kecantikan putri tlatah Aduran.
Ya Allah saya minta menjadi orang yang baik, iman kepadaMu dan kelak meninggal dengan bau harum seharum minyak kasturi”
Setelah menerima bekal do’a tersebut, maka berangkatlah Abdul Qodir Hamid menjalankan tugas dari Kanjeng Sunan Kalijogo. Dalam tugas tersebut terjadilah perang selama 7 hari 7 malam tanpa berhenti, karena keduanya tak mau menyerah atau kalah. Dalam peperangan yang berlangsung tersebut, maka datanglah Syekh Maulana Iskhak (sesepuh wali songo) untuk memberhentikan peperangan tersebut, dan Beliau berkata : “Wahai anak-anakku keduanya, peperangan ini tidak ada yang kalah dan tidak ada yang menang yang paling baik adalah kalian harus melaksanakan jejodohan (pernikahan)”.
Akhirnya keduanya mematuhi nasehat dari Syekh Maulana Iskhak. Dan siapa sebenarnya wanita tersebut, tidak lain dan tak bukan adalah Linang Nullin Anggraeni keturunan dari Pasai Ciumpa Cempo putri dari Nanawwang Nawung.
Selanjutnya pada tahun 1643 terjadilah perkawinan yang sangat hebat antara Abdul Qodir Hamid dengan Linang Nullin Anggraini yang disaksikan oleh sembilan wali dan sesepuh Syekh Maulana Iskhak. Dan oleh Syekh Maulana Iskhak keduanya ditanam (ditaruh) sebagai mubaligh di tanah Aduran
Aduran berasal dari kata Adaron yang artinya ketentraman yang sangat diharapkan.
Pada tahun 1743, Abdul Qodir Hamid bergabung dengan anak wali dari Sembayat Gresik, berjuang untuk menegakkan agama Islam sampai dengan zaman kemajuan (rejane zaman).
Abdul Qodir Hamid sangat mencintai Desa Ngayung karena di desa tersebutlah putri Linang Nullin Anggraini bertempat tinggal.
Ngayung berasal dari kata Ayyun
“ Ayun ayun wa ayun baadan, badan siji ginowo mati, wonten ndunyo nggadai duso, wonten akhirat dipun sikso
Ya Allah kulo nyuwun ngapuro, pundi sak langkungi wonten ing suargo, babatono rampasono, ojo babati pudi kelawan pacul, babatono rampasono puji kelawan dzikir, La illa ha illallah Muhammadurrosulullah, Allah shodiqul wa’dul amin”
Abdul Qodir Hamid terpikat oleh gadis cantik dari Ngayung.
Setelah dinikahkan oleh Syekh Maulana Iskhak, antara Abdul Qodir Hamid dan Linang Nullin Anggraini dan keduanya saling bersalam-salaman, saling merangkul sambil menangis. Dan saat itu Syekh Maulana Iskhak menasehati keduanya yang isi nasehatnya adalah sebagai berikut :
“Hai anak-anakku keduanya, apakah yang dinamakan air suci itu?, Apakah air hujan ?, bukan. Apakah air laut ?, bukan. Apakah air bengawan? , juga bukan. Apakah air kali ?, bukan juga. Apakah air sumber (mata air) ?, juga bukan.
Sesungguhnya yang dimaksud dengan air suci adalah air yang menetes dari mata yang digunakan berdzikir dan istighfar memohon ampunan Allah dan minta kejayaan/kebahagiaan di dunia dan akhirat”
(Kisah Rahasia ini ditulis oleh Sutomo, dan hasil pencarian bersama-sama : KH. Nurrohman, H. Ali Ma'sum, H. Tarmudji, H. Mukti, Djajeri, Sumawi dengan nara sumber KH Zainuri al Yusak Mustarom MCR)
MCR : Magister Cronologi relegi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar